Kejujuran Pedagang Sayur Keliling

Pagi itu istri saya belanja sayur dan ikan dari pak Iyan, pedagang keliling yang naik motor dan membawa sayur-mayur, ikan dan bumbu dapur. Waktu masuk rumah, istri kasih tahu saya kalau ada pak Iyan. Selesai menelepon kawan, saya bergegas ke luar rumah.

Saya lihat dia lagi sibuk memotong-motong ikan pesanan istri saya. Setelah agak senggang,  saya ajak dia ngobrol. Baru kali ini saya ketemu dan ngobrol sama pak Iyan. Biasanya sih cuma lihat dia singgah di depan rumah tetangga sambil melayani ibu-ibu yang belanja.

‘Lho, itu ikannya kenapa dipisahkan, Pak. Apa sudah ada yang pesan?”tanya saya.

“Ini ikan kemarin, Pak. Saya bedakan plastiknya sama ikan yang baru saya ambil hari ini”jawabnya

Saya lihat ada dua kantong plastik ikan gembung yang diletakkan di kotak penyimpanan ikan di atas motor. Rupanya dia memisahkan ikan yang baru dengan ikan yang kemarin belum terjual.

Sikap jujurnya yang tidak mencampur ikan lama dengan ikan baru begitu berkesan di hati saya. Apalagi ketika dia berkata,”Kalau nggak saya pisahkan, Pak, hari ini pembeli nggak tahu, tapi besok-besok kalau tahu nggak percaya lagi”.

Ya, jualan atau bisnis adalah masalah kepercayaan. Seperti  yang dibilang pak Iyan, hari ini bisa saja pembeli nggak tahu sedang dibohongi dengan cara mencampur ikan yang kemarin dengan ikan hari ini, tapi lama-lama pembeli akan tahu. Dan kalau itu terjadi, kepercayaan itu akan luntur bahkan hilang.

Pagi itu saya mendapat sebuah pelajaran dari seorang pedagang sayur keliling yang sederhana. Bahwa menjaga kepercayaan orang lain itu penting. Memang dalam berdagang, meraih keuntungan materi adalah tujuan. Namun, menjaga nama baik penjual dan kepercayaaan dari pembeli tak kalah pentingnya, karena hal itu adalah keuntungan yang akan dinikmati dalam jangka panjang.

Yang Luar Biasa dari Warga Biasa

Di tempat kerja, ada mbak-mbak dan ibu yang setiap hari kerjanya memasak dan menghidangkan makanan untuk para karyawan. Tiap hari mereka biasa bangun jam 3 pagi untuk menyiapkan sarapan mulai jam 6-8.

Karyawan bujang lokal seperti saya, maksudnya sudah menikah tapi keluarga tidak ikut tinggal di camp biasa makannya di kantor. Bagi karyawan yang keluarganya ikut ke camp, mereka masak sendiri dan makan di rumah

Selain memasak, mbak-mbak dan ibu juru masak itu juga punya pekerjaan sampingan. Menerima cucian pakaian karyawan. Mulai dari mencuci sampai menyetrika. Ada juga karyawan yang mencuci dan menyetrika pakaiannya sendiri. Ada yang mencuci manual alias pakai tangan, ada juga yang pakai mesin cuci. Kalau saya tergolong kelompok yang menyerahkan urusan mencuci dan menyetrika pakaian ke ibu juru masak.

Tidak ada yang terasa istimewa dari kegiatan menerima cucian dan menyetrika pakaian itu. Sampai suatu saat saya kehilangan bolpoin. Saya cari-cari di rumah, di laci dan meja kantor nggak ketemu juga. Akhirnya saya pasrah, kalau hilang ya sudahlah. Nggak disangka, pada saat selesai makan malam, ada salah satu mbak yang bilang kalau cucian pakaian saya sudah siap dibawa pulang. Beberapa pakaian yang sudah rapi dimasukkan dalam tas plastik warna putih.

Setelah sampai di kamar, saya masukkan satu persatu pakaian ke lemari. Selesai memindahkan pakaian, spontan saya lihat ke dalam tas. Astaga, ternyata di dalamnya masih ada barang yang selama ini saya cari-cari: bolpoin. Nggak hanya itu, uang logam yang terbawa di saku pakaian juga dikembalikan. Langsung saya ingat, berarti ketika menyerahkan pakaian kotor waktu itu saya nggak sempat lagi periksa ada barang apa saja di dalamnya.

Rupanya barang-barang itu sudah diamankan ibu juru masak sebelum mencuci pakaian. Karena bolpoinnya masih bisa dipakai dan nggak macet. Memang, bolpoin dan uang logam itu nggak seberapa nilainya. Tapi satu hal yang bikin saya salut adalah kejujurannya. Dia nggak mau mengambil barang yang bukan kepunyaannya dan mengembalikan ke pemiliknya.