Siswa Kelas I Ikut Bimbingan Belajar, Apakah Perlu?

Lewat telepon seluler (ponsel), istri saya cerita, dia baru saja memberi ultimatum anak-anak, terutama yang kelas 6 SD dan 3 SMP. “Pokoknya kelas 1 SMP dan 1 SMA nanti , nggak ada yang namanya ikut les atau bimbingan belajar ”, ujarnya.

Saat ini saja, untuk menghadapi Ujian Nasional (UN) tahun 2013, anak-anak sudah harus menyisihkan  2-3 hari seminggu untuk ikut bimbingan belajar. Mereka harus mempersiapkan diri dari sekarang, padahal UN berlangsung sekitar 8 bulan lagi.

Terkadang, muncul rasa iba juga setelah melihat anak-anak habis pulang sekolah, terus les dan pulang ke rumah keletihan dan tertidur. Bagi si sulung, sewaktu kelas 2 SMP, karena jarak dari sekolah ke tempat les dekat, pulang sekolah nggak langsung ke rumah. Tetapi beli makan siang dan istirahat di sekolah. Setelah itu, langsung ke tempat les dan selesai baru dijemput ibunya.

Anak-anak yang saat ini duduk di bangku kelas 6 SD , 3 SMP dan 3 SMA, baru masuk tahun ajaran baru sudah dihadapkan pada pilihan : ikut bimbingan belajar atau tidak, ikut les atau belajar sendiri. Ikut les privat atau bimbingan belajar. Semuanya punya tujuan yang sama, dapat nilai bagus pada waktu UN dan SNMPTN, serta diterima di sekolah atau perguruan tinggi yang diinginkan.

Dan jika pilihannya adalah ikut bimbingan belajar atau les, orangtua yang harus siap-siap untuk menyediakan dana yang tidak sedikit.

Apalagi kalau memilih ikut bimbingan atau les jangka panjang, sekitar 8-9 bulan. Seperti atlet yang menjalani Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) yang akan dikirim mengikuti turnamen atau kejuaraan. Bedanya kalau atlet, hanya fokus pada satu bidang atau cabang olahraga, misal bulutangkis, atletik atau sepakbola. Selama itu pula, dia akan konsentrasi berlatih fisik dan teknik didampingi sang pelatih.

Tetapi kalau anak-anak sekolah, mereka harus mempelajari berbagai mata pelajaran. Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris. Semua mata pelajaran yang akan diujikan pada saat UN. Selain mata pelajaran itu sudah diajarkan di sekolah, dia harus belajar lagi di bimbingan.

Memang kalau ditinjau dari sisi persiapan, tidak ada salahnya merencanakan beberapa bulan sebelumnya mengikuti bimbingan untuk menghadapi UN atau SMPTN.

Namun, jika hal tersebut sudah dimulai ketika anak-anak baru kelas 1 SMP atau 1 SMA, muncul pertanyaan yang jadi bahan diskusi saya dengan istri lewat telepon. Apakah pelajaran yang sudah diberikan di sekolah tidak cukup? Apakah tidak muncul kejenuhan belajar saat anak-anak duduk di bangku kelas 3? Apakah kondisi badan dan pikiran yang letih saat dipacu mengikuti bimbingan sejak kelas 1, bisa kembali segar saat menghadapi UN atau SNMPTN?

Referensi Gambar :

  • cikarang.biz

Beli Ayam Sekalian Bulunya

Kalau kita beli ayam di pasar untuk lauk-pauk, biasanya bagian tubuhnya sudah dipotong-potong dan dibersihkan. Ada kepala, dada, paha, ceker sampai jeroan. Harganya pun berbeda sesuai dengan potongannya. Jadi yang kita beli potongan atau bagian yang diperlukan.

Tapi di lokasi kerja saya dan desa-desa sekitar, cara membeli ayam lain lagi. Harganya bukan dihitung per potong bagian tubuh, tetapi utuh satu ekor, mulai kepala sampai ceker.

Terus kalau belinya utuh satu ekor, menghitung harganya gimana ? Sesuai berat ayamnya dan dihitung pakai timbangan. Seperti kalau kita beli buah apel, jeruk atau mangga. Biasa yang digunakan adalah timbangan dengan kapasitas sampai 5 kg, seperti yang dipakai untuk menimbang gula pasir atau tepung terigu.

Ayam potong broiler atau biasa disebut ayam putih yang akan dibeli diletakkan di atas timbangan. Selanjutnya dihitung berapa kilogram beratnya. Ayam yang dijual beratnya sekitar 1,5 – 2 kg.

Kalau perkilonya 27.000 rupiah dan ayam yang ditimbang beratnya 1,7 kg, jadi harganya 45.900 rupiah. Makin berat ayamnya, waktu ditimbang biasanya makin jinak. Karena ayamnya susah bergerak, menahan bobot tubuhnya. Biasanya ayam yang sudah berbobot sekitar 2 kg. Makin ringan bobotnya, makin lincah waktu ditimbang. Terkadang malah harus dipegang, supaya jarum timbangan tidak terus bergerak-gerak.

Komentar seorang kawan, ”Kalau beli ayam seperti ini, bukan cuma daging dan tulangnya yang dibeli, tapi sampai ke bulu-bulunya”.

Referensi Gambar :

  • Sniperoze.blogspot.com

Kepergian Seorang Sahabat

“I will resign”, ujar seorang sahabat. Berita itu begitu mendadak dan mengagetkan saya. Memang, sebelumnya saya sudah mendengar informasi dia akan berhenti dari pekerjaan. Tetapi berita itu saya anggap kabar burung dan tidak secepat ini waktunya. Setelah mendengar langsung darinya, baru saya percaya.

Sepuluh tahun lebih, kami mengenal satu sama lain.  Seorang sahabat yang sering berdiskusi tentang suatu persoalan. Seorang sahabat yang spontan mengoreksi saya bila ada kesalahan. Seorang sahabat yang sering melontarkan gagasan cemerlang. Seorang sahabat yang  sering sejalan dalam mengatasi permasalahan. Seorang sahabat yang punya karakter mirip tokoh Bima dalam dunia pewayangan. Atau Umar bin Khotob, sahabat Nabi Muhammad SAW. Lugas, temperamen, blak – blakan dan tanpa tedeng aling-aling, tapi logis.  Karakter yang tidak setiap orang siap dan bisa menerima.

Ketika berkunjung ke desa dua hari lalu dan sebelumnya singgah di tempat kerjanya, saya ditanya, ”Boleh nggak  Pak saya ikut ke desa. Saya mau pamit dengan masyarakat”. Spontan saya jawab,”Boleh, kita sekarang berangkat sama-sama”.

Dalam perjalanan, bila bertemu  masyarakat di pondok ladang, dia juga mendatangi mereka untuk berpamitan. Setelah menempuh sekitar 1,5 jam perjalanan, akhirnya sampai juga kami di rumah bapak tokoh masyarakat yang sekaligus sesepuh di desa tersebut.

Setelah tiba di rumahnya, kami diterima oleh menantu perempuan dan cucu – cucunya. “Bapak sedang di belakang, memberi makan ayam dan babi”, tambahnya. Tak lama kemudian, sang bapak  masuk rumah dan berbincang dengan kami.

Satu – persatu warga lainnya juga datang memasuki rumah bapak mantan kades tersebut. Suasana desa yang masyarakatnya penuh rasa kekeluargaan.

Setelah saya selesai berbicara  tujuan kunjungan ke desa, giliran sahabat yang menyampaikan maksudnya. Tuan rumah begitu seksama mendengarkan penjelasannya. Pada saat sahabat tadi berkata dia mau berhenti dari pekerjaan dan berpamitan, suasana tiba-tiba menjadi hening.

Di rumah yang sederhana tersebut, mata kami semua berkaca-kaca. Suara kami tercekat. Tampak butiran air mata meleleh dari wajah sahabat dan bapak. Pemandangan yang begitu mengharukan bagi saya dan warga lainnya. Apalagi ketika keduanya berjabat tangan dan berpelukan, linangan air mata pun tak terbendung lagi.

 ”Selama ini hubungan saya dengan bapak sudah seperti keluarga. Saya datang ke sini baik-baik, saya pulang juga baik-baik. Saya juga berterima kasih atas bantuan dan nasehat Bapak. Saya tidak sempat berpamitan dengan warga desa lainnya.  Hanya satu desa yang bisa saya datangi”, ujar sahabat tadi.

Hari ini (28/7), dia mencari saya di kantor untuk berpamitan. Tidak hanya dengan saya, termasuk juga dengan teman-teman lainnya. Ketika bertemu saya, dia berkata, “Meskipun kita berpisah, kita masih bisa bersilaturahmi. Masih bisa bertemu lagi. Apalagi kita tinggal di satu kota”.  Saya pun menjawab. “Insya Allah. Mudah-mudahan waktu lebaran nanti kita bisa bertemu” .  Dia pun menjabat tangan erat – erat dan memeluk diri saya.

Selamat jalan. Saya percaya, ini adalah cara Allah untuk memberikan yang terbaik bagi sahabat.

Insya Allah, sahabat akan mendapatkan hikmah dan tempat kerja baru yang lebih baik lagi.

Sampaikan salam saya untuk keluarga yang tengah menanti di rumah.

Tamu dari Luar Negeri

Berbagai tamu datang silih berganti ke lokasi kerja. Mulai dari mahasiswa, dosen, peneliti dan mekanik alat berat sampai pejabat pemerintah. Dan pada bulan Ramadhan, ada tiga orang ustad yang juga datang untuk mengisi kegiatan di bulan suci ini.

Tamu-tamu yang datang itu berasal dari berbagai tempat. Mereka tidak hanya dari dalam negeri, bahkan ada juga dari manca negara. Khusus tamu dari manca negara, banyak cerita yang saya dapatkan ketika ngobrol dengan mereka. Pernah ada satu cewek yang datang dari Belanda. Dia masih SMA, tapi posturnya sudah seperti anak kuliah.

Dia datang bersama – sama dengan dosen dan mahasiswa antropologi dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jawa. Mereka datang ke lokasi kerja untuk melakukan kajian sosial masyarakat di tiga desa.

Sang dosen bercerita kalau cewek Belanda itu anak profesornya yang dulu membimbing dia ketika ambil S3 di Amsterdam, Belanda. Walaupun sudah menyelesaikan S3, sang dosen nampaknya masih punya hubungan yang baik dengan profesornya.

Dari obrolan tersebut, ada satu hal menarik yang menjadi catatan saya. Cewek itu bisa pergi dan jalan-jalan ke Indonesia karena dia punya tabungan hasil kerja part time. Rupanya dia sekolah sambil kerja. Dia bilang ke orangtuanya yang profesor itu kalau ingin ke Indonesia.

Sewaktu dosen S3 tadi ke Amsterdam, profesornya menitipkan anaknya agar bisa ikut ke Indonesia. Dia ingin melihat hutan hujan tropis yang nggak ada di negaranya. Itu adalah pengalaman pertamanya pergi ke Indonesia dan juga ke Kalimantan atau Borneo.

Memang saya pernah membaca, kerja part time bagi pelajar SMA atau mahasiswa adalah hal yang biasa di luar negeri. Bahkan pelajar dan mahasiswa asal Indonesia yang sedang studi di luar negeri juga melakukan seperti itu.

Sambil sekolah atau kuliah, mereka bekerja sebagai loper koran, pengasuh anak kecil, atau pelayan restoran. Bayarannya bukan per bulan, tapi per jam. Apa nggak lumayan untuk ukuran orang Indonesia. Minimal untuk tambahan biaya hidup selama tinggal dan studi di negeri orang.

Masih tamu dari benua Eropa. Pernah, ada satu mahasiswa S2 dari Kopenhagen Denmark yang datang untuk menguji coba peralatan penginderaan jauh (remote sensing). Waktu saya tanya bagaimana kesannya di lapangan dan melihat hutan tropis?

Dia bilang,” Di sini jenis tumbuhannnya bermacam-macam, ada puluhan bahkan ratusan jenis. Tidak seperti di negara saya”. Dia menjelaskan kalau di negaranya, jenis pohon atau tumbuhan berkayu di hutan cuma 1-2 jenis. Biasanya adalah pohon jenis konifer atau berdaun seperti jarum.

Pengalaman lain lagi saya peroleh ketika mendampingi para peneliti dari negeri matahari terbit. Ada salah satu profesor yang datang dengan mahasiswi yang sedang studi S2. Profesor ini meneliti sifat genetik daun pohon meranti yang berasal dari hutan alam dibandingkan dengan tanaman.

Saya melihat ada satu hal yang menonjol dan patut ditiru. Apakah itu ? Rasa hormat mahasiswi pada profesornya yang tinggi. Respek seorang murid pada gurunya begitu terlihat. Dia memanggil profesornya dengan sebutan sensei. Saya pun kadang-kadang keceplosan memanggil profesor tersebut dengan panggilan sensei.

Ketika waktu makan, presentasi maupun pengambilan data di lapangan, terlihat sekali mahasiswi tersebut begitu hormat dan taat pada apa yang dikatakan senseinya. Jarang sekali si mahasiswi tersebut mendebat pendapat atau instruksi dari profesornya. Benar-benar terhormat profesi pengajar, guru atau dosen di negeri sakura.

Satu hal lagi tentang para peneliti yang datang dari negeri matahari terbit. Selain rasa hormat yang tinggi pada gurunya, mereka mendapatkan gelar PhD atau Doktor (Dr) dalam usia yang relatif muda, sekitar 30 tahun.

Ada satu cewek, ahli identifikasi jenis burung, umurnya 34 tahun dan telah bergelar Doktor. Dia pasang jaring di tempat – tempat tertentu untuk mengetahui jenis burung yang ada. Dari hasil pengamatan di lapangan yang dipresentasikan, saya baru tahu burung yang memakan serangga, bentuk paruhnya berbeda dengan burung yang mengisap nectar. Burung yang habitatnya di hutan yang masih perawan atau belum pernah ditebang, beda dengan jenis burung yang habitatnya di hutan yang pernah ditebang.

Selama mendampingi tamu-tamu tersebut, ada satu pelajaran yang bisa saya petik. Ternyata, untuk mendapatkan tambahan informasi dan pengetahuan baru, tidak hanya diperoleh dari kursus atau pelatihan.

Belajar hal-hal baru tidak selalu harus di dalam kelas atau di ruangan. Dari ngobrol dan diskusi dengan mereka, saya bisa belajar banyak. Mereka datang ke negara kita untuk belajar dan meneliti tentang keanekaragaman flora dan fauna di hutan tropis.

Tidak hanya itu, mereka juga dapat menjadi sumber – sumber pengetahuan dan informasi terbaru yang perlu untuk saya ketahui.

Terbang bersama Garuda

Sebelumnya saya pernah cerita tentang perahu klotok dan bis. Kali ini saya mau cerita waktu terbang bersama Garuda Indonesia. Cerita ini lanjutan dari kisah tugas saya ke Jakarta seminggu yang lalu. Setelah tiga hari di Jakarta, akhirnya hari Kamis (19/7) saya pulang ke Pontianak.

Sebelum pulang, sehari sebelumnya saya sempatkan ke kantor untuk mengambil tiket pesawat. Setelah e-ticket saya terima dan baca, tercantum kode flight : GA 502. Berarti, pulang naik Garuda. Benar-benar kejutan dan tidak disangka. Semua terjadi di luar dugaan saya. Karena waktu berangkat pakai Sriwijaya, ternyata pulangnya naik Garuda.

Kalau lihat harga tiket Garuda, untuk ukuran kocek saya memang mahal? Sekitar 1,2 juta. Itu harga kelas ekonomi, lho. Tapi karena sudah disediakan perusahaan, masa saya tolak?

Untuk orang seperti saya, namanya naik pesawat bisa dihitung dengan jari. Terakhir kali tahun 2010, sewaktu pulang lebaran ke Jogja. Itupun pakai Batavia, langsung dari Pontianak.

Walaupun lama nggak naik pesawat, tapi saya tetap mengikuti perkembangan dunia penerbangan. Mulai jatuhnya Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak, padatnya lalu lintas penerbangan di bandara Soekarno – Hatta, sampai produk pesawat CN 235 buatan PT DI yang justru banyak dipakai negara-negara lain : Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Pakistan.

Khusus Garuda Indonesia, perkembangan flag carrier tersebut juga saya ikuti. Mungkin karena tertarik dengan berbagai inovasi jajaran direksi yang dipimpin oleh Dirutnya sekarang, Emirsyah Satar. Direksi yang sedang berada di puncak kinerja, antusias dan gairah kerja.

Saat ini, berbagai inovasi brand Garuda lebih bersuasana Indonesia. Menyediakan menu makanan khas Indonesia seperti soto, nasi pecel, nasi uduk. Penggantian seragam air crew yang lebih menonjolkan ciri khas Indonesia : baju lengan tiga perempat berwarna biru dan oranye dengan kebaya motif batik. Kelihatan anggun sekali. Hingga memperdengarkan lagu-lagu tanah air. Dengan demikian, setiap penumpang khususnya orang-orang asing yang naik Garuda, seperti sudah merasa berada di Indonesia.

Berbagai inovasi tersebut membuat Garuda makin terbang tinggi. Penambahan armada pesawat juga terus dilakukan. Value Garuda saat ini mencapai 18 trilyun. Bahkan mengungguli Malaysia Airlines, Thai Airways dan Air France. Di Asia Tenggara, Garuda cuma kalah dengan Singapore Airlines.

Tidak hanya itu, Garuda juga mengembangkan sayapnya berpromosi di video display di stadion Anfield, markas klub Liverpool. Musim kompetisi mendatang yang dimulai 19 Agustus 2012, setiap kali The Reds tampil di Anfield, iklan Garuda akan muncul di sisi stadion. Di Liga Primer Inggris, Garuda akan bersaing dengan maskapai Etihad dan Malaysia Airlines.

Sebagai warga negara, dengan prestasi seperti itu membuat saya bangga. Ternyata maskapai penerbangan kita nggak kalah dengan maskapai negara lain.

Waktu membaca perkembangan Garuda saat ini, saya sudah senang. Apalagi diberikan kesempatan terbang menggunakan Boeing 737 – 400. Tidak ketinggalan saya ambil beberapa gambar untuk kenang-kenangan. Mulai saat menunggu pesawat di pintu F7 Bandara Soekarno Hatta yang toiletnya sangat bersih, di kabin sampai mendarat di bandara Supadio.

Waktu berada di ruang boarding, jadwal keberangkatan pesawat GA 502 ternyata ditunda 20 menit dari jadwal semula, jam 10.25 WIB. Saya gunakan waktu untuk ke mushola, sholat dhuha dan melihat toilet di bagian bawah.

Cerita tentang toilet bandara, toilet di Soekarno Hatta termasuk tiga besar toilet terbersih dari seluruh bandara di Indonesia. Saya lihat ada dua orang petugas yang berjaga di toilet. Setiap ada bekas jejak kaki penumpang, langsung dibersihkan. Toiletnya bersih, mengkilap dan harum.

Di dalam pesawat, saya dapat kursi 12 B, di tengah-tengah. Tapi waktu mau menaruh tas dan dokumen, ternyata kabin di atas kursi sudah penuh. Saya lihat mbak-mbak pramugari juga lagi sibuk mengatur penumpang lainnya dan barang-barangnya. Mau ditaruh dimana tas dan dokumen yang saya bawa?

Saya coba atur lagi barang-barang penumpang lain yang ada di kabin, ternyata masih ada tempat. Cuma ada satu dokumen yang nggak muat dimasukkan ke dalam kabin. Akhirnya diletakkan di bawah dan jelas mengganggu posisi kaki untuk bersandar.

Setelah duduk dan mengencangkan sabuk pengaman, mbak pramugari pun membagikan permen. Sebelum lepas landas, saya tanya, “ Penumpang di 12 A mana, kok masih kosong Mbak? ” Sudah closed, Pak”. Wah, berarti kesempatan duduk dekat jendela dan saya langsung pindah posisi. Dokumen pun pindah juga, ada di bawah kursi 12 B tempat saya semula.

Detik-detik saat lepas landas adalah yang paling mendebarkan diri saya. Sejak pilot mengatakan “cabin crew, take off position”, saya tak henti-hentinya berdoa. Bacaan Basmalah, Subhanallah dan Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah terus saya ucapkan.

Alhamdulillan, akhirnya pesawat berhasil lepas landas dan mengangkasa di ketinggian 34.000 kaki atau sekitar 11.000 meter. Karena duduk dekat jendela, saya keluarkkan BB dan memotret pemandangan di bagian kiri pesawat. Inilah hasilnya.

Selesai memotret, sekitar jam 11.30 WIB, pramugari menghidangkan kotak makanan yang berisi burger mini dan roti isi daging, plus jelly kelapa. Pikiran saya, mungkin karena belum saatnya jam makan siang, jadi hidangan yang muncul roti. Lumayan untuk pengganjal perut, padahal saya berharap yang disajikan adalah nasi he….he….he….he…..
Sekitar jam 11.45 WIB, diumumkan oleh pramugari bahwa pesawat akan mendarat di bandara Supadio Pontianak 20 menit lagi.

Tepat pukul 12.05 WIB, syukur alhamdulillah, pesawat mendarat dengan selamat di bandara. Dua bis pun bersiap – siap menjemput penumpang untuk diantar ke ruang kedatangan. Pengalaman terbang bersama GA 502 pun berakhir di sini.
Mengutip kata-kata pramugari, “ Terima kasih telah terbang bersama Garuda. Sampai jumpa pada penerbangan Garuda selanjutnya “.

Referensi Bacaan :

Kenangan di Masjid Raya Cinere

Alhamdulillah, tanpa diduga dan direncanakan, Tuhan memberikan kesempatan pada saya untuk melihat ibukota negeri tercinta, Jakarta. Bukannya saya tidak pernah pergi ke kota metropolitan yang terkenal dengan kemacetannya itu. Terakhir, mungkin tiga tahun yang lalu.

Karena momennya mendekati bulan Ramadhan, saya mau berbagi cerita yang kalau dipikir-pikir semuanya terjadi secara tidak sengaja dan memberikan hikmah bagi saya

Awalnya saya dan lima orang teman diantar kendaraan perusahaan untuk menuju suatu tempat di cinere. Karena saya bawa BB yang sudah dipasang GPS, langsung saya tandai posisi berangkat dari hotel dan tempat yang dituju : Cinere.

GPS langsung membuat track di peta Jakarta dengan garis warna merah. Plus keterangan : Jarak tempuh 21,6 km, waktu tempuh 28 menit. Garis itu menunjukkan rute yang harus dilewati : jalan Hayam Wuruk – Majapahit – Medan Merdeka Barat – Thamrin – Fatmawati – Lebakbulus – Cinere. Rupanya peta Jakarta yang ada di GPS lengkap sekali. Nama jalan kecil atau gang pun tergambar jelas.

Rupanya hitungan waktu tempuh di atas kalau nggak ada kemacetan. Kenyataannya, walaupun sudah berangkat jam 6.30 dari Hayam Wuruk, ternyata tiba di Cinere sekitar jam 8 pagi. Perlu 1,5 jam sampai di lokasi yang dituju. Awalnya waktu berangkat lalu lintas lancar, nggak ada macet. Setelah masuk Depok, kendaraan mulai padat merayap.

Sampai di Cinere, rupanya kantor yang dituju belum buka. Lokasinya pas di seberang Polsek Limo. Ditunggu setengah jam lebih belum buka juga. Rupanya ada dua orang kawan yang pingin ngopi dan buang air kecil. Daripada menunggu kantor buka sambil bengong, terus mereka cari tempat di seberang jalan.

Kebetulan di seberang jalan kelihatan menara mesjid. Langsung mereka menuju ke situ. Pasti disitu ada masjid. Selesai buang air kecil di toilet masjid dilanjutkan ngopi di kantin Polsek Limo. Empat orang lainnya termasuk saya yang menunggu di depan kantor yang masih tutup tadi ikut juga ngopi dan cari toilet.

Nah, pas saya masuk ke halaman masjid, toilet dan tempat wudhunya bukan main bersihnya. Ini saya ambil gambarnya :

Saya baru tahu rupanya bangunan itu adalah Masjid Raya Cinere (MRC). Di komples masjid itu ada juga SMP dan SMA. Nggak cuma buang air kecil, saya sama satu orang kawan sekalian sholat dhuha di situ. Tambah kagum saya melihat interior MRC. Disainnya bagus, rapi, bersih dan karpetnya wangi.

Kelihatan sekali kalau masjid tersebut dikelola dengan professional. Tidak hanya ruang sholatnya, bahkan sampai ke tempat wudhu dan toiletnya. Nggak kalah dengan toilet di hotel berbintang. Semuanya diperhatikan dan dirawat dengan serius. Kok bisa-bisanya masjid besar bisa terawat seperti ini. Saya pun baru tahu jawabannya ketika membaca informasi yang ditempel di tempat wudhu yang isinya seperti ini :

Rupanya pengurus MRC menyediakan nomor telepon untuk meminta saran dan kritik orang-orang yang pernah berkunjung ke situ. Biasanya orang atau pihak kalau dikritik merasa alergi. Di MRC, pengurus justru minta dikritik. Bisa jadi dari kritik dan saran itu, mereka dapat masukan untuk membenahi dan merawat masjid dengan baik.

Urusan bangunan masjid mulai dari tempat sholat, tempat wudhu dan toilet sudah buat saya kagum. Bukan hanya itu. Hal kedua yang membuat saya juga kagum dan senang adalah ketika waktu sholat Dhuhur tiba. Anak-anak SMP dan SMA yang ada disekitar masjid bergegas melaksanakan sholat berjamaah. Saya lihat ada dua shof cewek dan dua shof cowok waktu itu. Gambaran saya tentang anak-anak SMA di Jakarta yang sering tawuran seperti tayangan di tv langsung hilang.

Satu lagi, pas sore hari waktu ashar ada acara pengajian untuk anak-anak. Saya lihat di sekeliling beranda masjid ada 4 kelompok anak-anak SD yang sedang diajar oleh guru mengaji. Mereka mengulang bacaan surat yang dicontohkan oleh gurunya.

Walaupun saya dan teman-teman kebetulan cuma menumpang buang air kecil dan sholat di MRC, tapi saya melihat ada satu hikmah yang diperoleh. Bahwa hadits Nabi Muhammad yang berbunyi “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman”, di MRC bukan hanya sebatas slogan, tapi diwujudkan dalam bentuk tindakan.

Sebagai muslim, bagaimana kita akan beribadah atau sholat dengan khusuk kalau lingkungan masjid atau tempat sholat kita tidak bersih?

Pelanggan Setia

Kenapa sih tetap naik Damri? Padahal ‘kan sering mogok. Demikian pertanyaan dan alasan yang sering dilontarkan teman-teman saya di kantor.

Damri, nama perusahaan bus milik pemerintah (BUMN) yang salah satu rutenya adalah Pontianak – Nanga Pinoh  PP.

Setiap bulan, saya dan tiga orang teman ditugaskan mengikuti rapat di Pontianak. Dari empat orang itu, dua orang sering menumpang Damri. Dua orang lagi biasanya naik bis yang dikelola swasta.

Saya termasuk pelanggan Damri juga, tapi tidak sefanatik teman saya. Teman saya yang suka naik Damri bisa saya golongkan pelanggan setia. Susah mengajak dia untuk naik selain Damri. Kalau dalam sepakbola, seperti fans berat suatu kesebelasan. Kalau penggemar AC Milan disebut milanisti, fansnya Inter Milan namanya internisti, Aremania untuk pendukung Arema Indonesia,  dia termasuk Damri mania begitulah.

Apa bedanya pelanggan biasa dengan pelanggan setia ? Kalau pelanggan biasa seperti saya, masih ada kemungkinan memilih bis lainnya. Tapi kalau pelanggan setia, ibaratnya dia punya prinsip, berat sekali untuk pindah ke selain Damri. Bahkan, cenderung tak bisa ke lain Damri.

Sebenarnya, ada beberapa pilihan untuk menempuh perjalanan dari Pinoh – Pontianak sejauh sekitar 500 km. Jika naik bis, ada enam perusahaan yang melayani trayek tersebut PP.

Cuma satu yang punya pemerintah (BUMN) : Damri. Lima lainnya swasta  :  Tanjung Niaga, Adau Transport Service (ATS), Maju Terus (Marus), ABM dan yang baru Tri Star Melawi (TSM).  Waktu tempuhnya sekitar 10 jam dan berangkat setiap hari.  Dan harga tiketnya sekitar 120 ribu rupiah per orang.

Khusus untuk Damri, sehari ada dua trip. Pagi berangkat jam 9.00 dan malam jam 19.00. Lainnya berangkat sore dan malam hari. Keberangkatan bis pun ada urutannya, lho.

Pertama ABM berangkat jam 18.00, ATS jam 18.20, Tanjung Niaga jam 18.30, Marus, Damri, dan terakhir TSM jam 19.00. Selain bis umum, ada juga kendaraan kijang travel.

Kalau mau lebih cepat, bisa naik pesawat terbang, tapi ke Sintang dulu sekitar 1,5 jam dari Nanga Pinoh. Setelah itu terbang dengan Kalstar atau Indonesia Air Transport.

Waktu tempuhnya singkat, cuma 35 menit dengan harga tiket sekitar 600 ribu rupiah. Sebenarnya dari Nanga Pinoh ada juga pesawat ke Pontianak, tapi rutenya Nanga Pinoh –  Ketapang – Pontianak PP. Itupun seminggu cuma dua kali.

Menurut Pontianak Post (14/7),  sekarang ini pemerintah sedang menjajagi rute penerbangan langsung Nanga Pinoh – Pontianak PP. Bandara yang ada akan direnovasi. Landasan pacunya diperpanjang 300 meter menjadi 1.300 meter. Lebarnya ditambah 7 meter menjadi 30 meter.

Terus, apa yang bikin saya dan teman tadi susah pindah ke lain Damri ? Untuk saya alasannya simpel : bisa tidur selama di perjalanan. Memang benar, kalau bis Damri bagi sebagian orang sering dibilang mogok. Bagi saya nggak terlalu berpengaruh. Bahkan terkadang saya nggak tahu kalau bisnya lagi mogok, lha saya lagi tidur.

Tapi kalau bicara rasio sesuai pengalaman, perbandingannya 10 : 1. Hitungannya dalam 10 kali perjalanan naik Damri, kejadian mogok paling banter 1 kali karena rusak mesin, pecah ban atau masuk angin. Itu masih wajar.

Memangnya yang naik kendaraan lainnya dijamin nggak bakal mogok. Apa penumpang yang pernah naik pesawat terbang juga berangkatnya selalu on time, nggak pernah delay akibat kerusakan teknis pesawat ?

Kalau dibilang sering mogok, kenapa banyak orang masih pilih naik Damri?  Sebulan yang lalu, ada dua bis yang berangkat dari Nanga Pinoh. Satu bis malah penumpangnya 90 % anak-anak SMU yang mau ikut tes SNMPTN di Pontianak.

Terakhir, waktu saya berangkat dari Nanga Pinoh sekitar seminggu yang lalu (10/7) juga sama, Damri sampai mengerahkan 2 bis untuk mengangkut penumpang.

Bahkan menurut mekanik Mercedes Benz,  jumlah bis Damri Stasiun Pontianak termasuk ketiga terbesar di Indonesia, setelah Damri Bandara Soekarno-Hatta dan Damri Lampung.

Nah, kalau saya cerita pengalaman di atas, bukan berarti saya habis dikasih hadiah atau tiket gratis oleh Damri. Atau saya minta orang lain naik Damri, lho. Apalagi dianggap promosi.

Adalah hak setiap orang untuk memilih naik kendaraan apa. Tidak ada unsur paksaan dalam memilih angkutan di perjalanan. Banyak pilihan, kok.

Sumber foto :

http://www.bismania.com

Main Bola lagi

Bagi yang sudah terbiasa olahraga, seminggu nggak olahraga, rasanya ada yang kurang. Nggak terkecuali saya. Sore hari selesai jam kerja, acaranya kalau nggak baca koran, bersihkan kamar, pasti olahraga bulutangkis.

Cuma minggu ini, para pemain dipersilahkan istirahat dulu, atau cari alternatif kegiatan lain, karena lapangannya sedang diperbaiki.

Memang nggak bisa main bulutangkis sementara waktu, tapi olahraga harus tetap jalan, demi kesehatan. Akhirnya setelah pikir-pikir, olahraga jogging pun jadi. Sore kemarin (5/7), saya pun turun ke lapangan bola untuk lari-lari keliling lapangan. Lumayan juga dapat tiga putaran walaupun diselingi jalan kaki kalau nafas sudah terasa ngos-ngosan.

Rupanya bukan cuma saya yang jogging keliling lapangan, ternyata sudah ada teman-teman lain yang duluan. Tidak hanya itu, di lapangan hijau juga sudah ada pemain-pemain yang latihan menendang bola ke gawang, rupanya sore itu ada pertandingan Tingwe. Apa itu Tingwe? Kalau dicari dalam kamus bahasa Indonesia memang nggak bakal ada. Itu cuma istilah main bola di tempat saya kerja. Selesai jogging, pertandingan sudah dimulai. Rupanya pertandingan Tingwe sore itu antara tim keluarga vs bujangan.

Melihat mereka main bola, rasanya ingin juga main bola lagi seperti dulu. Nggak pakai lama, saya pun langsung masuk ke lapangan, ambil posisi pemain tengah, padahal nggak pakai sepatu bola. Sempat khawatir juga kalau terpeleset waktu main. Dari dulu memang saya suka posisi gelandang, posisi tukang umpan bola terutama ke penyerang.

Dulu waktu masih umur 30-an, memang masih kuat main bola, sampai-sampai pas hujan pun tetap aja lanjut, main dari sore sampai maghrib. Apalagi waktu dibentuk LIGA yang berisi tiga tim : A, B dan C. Permainan jadi lebih semangat. Sebelum LIGA dimulai, pemain masing-masing tim ditentukan, supaya jangan sampai ada satu tim semuanya pandai main bola, tapi tim lainnya baru belajar menendang bola. Nggak imbang dan nggak seru dong mainnya.

Mulai dari karyawan bulanan, harian sampai petugas keamanan semuanya nggak ketinggalan ikut main. Mulai dari posisi kiper, bek, gelandang sampai penyerang semuanya dipilih sesuai dengan kualitasnya. Satu tim isinya bisa sampai 20 orang.

Tidak cuma itu, jadwal pertandingan pun disusun dengan matang, wasit pun juga dipastikan, siapa yang memimpin. Tanggal berapa tim A lawan tim B dan wasitnya harus dari tim C, kapan tim B bertanding dengan tim C dengan wasit dari tim A. Ketiganya saling berkompetisi sesuai jadwal yang dibuat. Yang menyusun pemain dan jadwal siapa, ya mereka juga yang akan bermain bola.

Paginya waktu masuk kerja, hasil pertandingan langsung jadi topik pembicaraan dan dibahas di kantor. Kenapa tim A bisa kalah, padahal pemain tim B banyak pemain cadangan yang main? Harusnya pemain yang lelah diganti, kenapa masih dimainkan? Macam-macam komentar dan tanggapannya. Nggak kalah dengan pembahasan pertandingan piala Eropa.

Kalau diingat-ingat lagi ke masa itu, cuma satu hal yang saya nggak habis pikir dengan mereka. Kenapa untuk sebuah permainan bola, mereka bertanding begitu ngotot. Untuk keberhasilan sebuah tim, mereka bermain penuh semangat dan rela berhujan-hujan di lapangan.

Padahal, tidak ada iming-iming hadiah untuk tim juara. Tidak ada bonus untuk pencetak gol terbanyak. Mereka bermain tanpa bayaran, tapi tampil seolah-olah mereka adalah pemain profesional.

Semangat bertanding yang benar-benar mengagumkan dan saya acungi jempol. Salut deh……….Kapan kita bisa buat LIGA dan main seperti itu lagi ya…….

Bukan Sekadar Praktek Kerja

Sekeping Compact Disc  (CD) saya terima beberapa hari lalu dari mahasiswi-mahasiswi yang berasal dari kota hujan. CD berjudul “ Kenang – kenangan PKL  17 Peb – 17 April 2012 IPB ” tersebut, mengingatkan saya pada tiga cewek yang selama dua bulan tinggal di pedalaman Kalimantan untuk praktek kerja. CD yang berisi semua kegiatan yang mereka ikuti selama praktek kerja.

Waktu perkenalan dan pemberian arahan kegiatan untuk tiga “Charlie’s Angels” itu, mereka ternyata berasal dari daerah yang berbeda :  Afif dari Bogor, Mike asal Bengkulu dan Diah yang kampung halamannya di Kuningan.

Setiap tahun, mahasiswa-mahasiswi datang dan berkunjung ke tempat kerja. Tujuannya untuk praktek kerja, magang atau penelitian. Satu kelompok biasanya ada 3 – 5 orang, biasanya dua cewek dan tiga cowok atau sebaliknya. Jarang ada yang cewek atau cowok semua. Namun, sudah dua periode ini, Fakultas Kehutanan IPB mengirimkan dua kelompok praktek yang semua anggotanya cewek.

Nggak cuma mengikuti praktek, kadang – kadang ada juga mahasiswi yang ketemu jodohnya di lapangan dan menikah dengan karyawan. Sambil magang dapat pasangan. Sambil penelitian sekaligus ketemu sang idaman….

Memang Tuhan sudah mengatur jodoh seseorang, termasuk yang dipertemukan di tengah hutan. Terbukti, sampai saat ini, sudah ada lima karyawan yang ketemu jodohnya, dapat mahasiswi yang sedang magang atau penelitian.

Nah, cerita kembali ke tiga mahasiswi tadi : AMD (namanya disingkat biar simpel). Ada hal yang bikin mereka berbeda dengan mahasiswa-mahasiswi lainnya ketika praktek. Ada dua sebab yang bikin saya salut dan angkat jempol untuk mereka :

1.    Praktek Kerja bukan Sekadar Cari Nilai

Selesai menjalani PKL, ada forum presentasi. Mahasiswa-mahasiswi akan diminta menjelaskan apa saja kegiatan yang dilakukan selama di lapangan. Penyampaian materi presentasi dan diskusi terjadi di forum ini antara peserta praktek dan para pendamping lapangan dari pihak perusahaan.

Dari penjelasan mereka, akan terlihat apakah mereka sungguh-sungguh menjalani praktek atau sekadar memenuhi kewajiban dari Fakultas. Dari jawaban mereka akan tersimpulkan, apakah mereka benar-benar mencari data dan melihat fakta atau berleha-leha.  Dari pertanyaan mereka, akan diketahui apakah mereka aktif dan menguasai materi atau justru pasif.

Hasil pengamatan selama presentasi, ternyata ketiga cewek tersebut benar-benar menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti setiap kegiatan. Satu persatu tampil menjelaskan disertai data dan fakta yang meyakinkan.

Bahkan di luar dugaan, tanpa diminta, mereka melakukan pengamatan sendiri. Kegiatan yang tidak termasuk dalam materi praktek kerja. Ketiganya bukan sekadar ikut kegiatan, tapi juga sekaligus melakukan pengamatan. Tidak cuma sekadar ingin mendapat angka, tapi juga ikut mencoba.

Memang, di fakultas mereka, praktek kerja merupakan kegiatan yang diwajibkan. Sementara di tempat lainnya, praktek kerja adalah pilihan. Namun, bagi AMD, tampaknya praktek bukan sekadar menjalankan kewajiban fakultas. Tapi suatu kesempatan untuk melihat dan menjalani “dunia lain” yang berbeda dengan dunia kampus.

Dunia yang sangat berbeda dengan berbagai teori, informasi dan pengetahuan yang selama ini mereka terima di bangku kuliah. Dunia yang akan melengkapi wawasan dan pengalaman mereka, serta bermanfaat ketika menjalani kehidupan selanjutnya.

2.    Tidak Eksklusif dan Mau Membaur

Keakraban tidak hanya terjadi di antara mereka bertiga. Dalam berbagai kegiatan, terlihat mereka tidak canggung bergaul dengan karyawan dan masyarakat.

Saat mengikuti kegiatan pembinaan masyarakat, mereka tidak segan datang ke rumah warga dan berbincang-bincang dengan penghuninya.

Bahkan dengan petugas pendamping, keakraban terasa ketika makan siang atau makan malam. Tidak hanya menunggu hidangan siap, mereka justru ikut membantu memasak. Apalagi jaman sekarang ini, ada lho sudah mahasiswi dan calon ibu rumah tangga tapi nggak bisa masak.

Keakraban yang terjalin tidak hanya terbatas saat mengikuti kegiatan lapangan. Kesan-kesan yang menawan yang diingat tidak hanya oleh karyawan, tapi juga warga masyarakat.

Makasih buat Afif, Mike dan Diah, atas kiriman sekeping kenangan di lapangan.

Selama saya kerja, baru kali ada mahasiswa atau mahasiswi yang tidak cuma kirim laporan hasil praktek kerja, tapi juga sekaligus dokumentasinya secara lengkap. Salut banget dan sukses buat kalian bertiga.

Salam………

Sumber gambar  :

Foto dokumentasi mahasiswi PKL IPB 2012 (Afif, Mike dan Diah)