Liku-Liku Berburu Novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika”

Bulan Terbelah di Langit Amerika

 Dua minggu lalu saya mencari novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika (BTdLA)” di Gramedia Pontianak. Ternyata habis. Padahal sebelumnya waktu saya cek di komputer masih ada stok 5 buah. Tapi waktu saya cari-cari sesuai kode rak bukunya, kok nggak ada. Penasaran saya tanya ke mas petugas di bagian kasir.

“Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika masih ada, Mas?“

“Sudah habis, Pak”, jawabnya sambil melihat etalase di depan kasir.

“Lho, tadi saya lihat stoknya di komputer masih ada lima”tanya saya lagi.

“Maaf pak. Stok yang ada di data komputer itu belum diperbaharui”ungkapnya

Rupanya novel karangan Hanum Salsabila dan Rangga Almahendra itu benar-benar laris. Best seller seperti novel sebelumnya: 99 Cahaya di Langit Eropa. Hari itu banyak pengunjung yang membeli sampai stoknya ludes. Dan untuk mencarinya di toko buku lain juga nggak mudah. Belum tentu ada. Kalau mau nunggu kiriman atau restok pasti lama.

Setelah kejadian di toko buku itu, tanggal 24 Agustus lalu saya ngetwit, “Bulan Terbelah di Langit Amerika di toko buku ludes. Saatnya berburu online”. Nggak diduga rupanya twit saya saat itu juga dimentioned oleh mbak Hanumrais, @hanumrais,”mudah2n bisa segera restock @edgarzfine”.

Saya nggak menyangka langsung ditanggapi oleh sang penulis novel. Tapi saya nggak tahu siapa itu @edgarzfine atau Edgar Prima. Mungkin dari bagian distributor atau penerbit novel tersebut. Karena setelah twit itu dia yang meneruskan obrolan.

Kemudian dia tanya lagi,”Di toko buku mana yaah?”.

Saya jawab,” Gramed Pontianak”.

Besoknya 25 Agustus dia memberi tahu kalau untuk Makasar dan Kalimantan buku @bulanterbelah sedang otw :-).

Rupanya bukan cuma di Pontianak saja stok buku BTdLA waktu itu habis. Di Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Palangkaraya dan Makassar stok buku itu juga nggak ada. Bahkan pembaca setia novel harus menunggu sampai dua minggu untuk mendapatkannya.

Nah, kembali ke cerita twit saya tadi. Usaha untuk beli buku BTdLA secara online pun saya lakukan. Pertama buka situs gramedia online. Stoknya ada tapi waktu mau pesan muncul eror di layar komputer. Ketika saya isi aplikasi pemesanan dan simpan, yang muncul justru kalimat untrusted certificate. Saya ulangi lagi isi aplikasi dari awal, yang muncul pesan itu lagi. Bolak-balik saya coba tetap muncul kalimat seperti itu. Waduh, saya yang nggak terlalu paham mengatasi eror seperti itu harus cari akal.  Masih banyak jalan menuju BTdLA.

Akhirnya saya coba beli di situs lain. Di bukabuku.com. Alhamdulillah di situs ini nggak muncul masalah. Saat belanja online sampai ke proses pembayaran, semuanya lancar. Kemarin malah saya dikasih tahu via email kalau barang sudah siap dikirim. Syukurlah, akhirnya kesampaian juga beli novel BTdLA. Nggak ada rotan akar pun jadi. Nggak bisa beli offline, online pun jadilah.

Sumber gambar: http://www.hanumrais.com/2014/05/sinopsis-bulan-terbelah-di-langit.html#.U_6hS3biBNw

Orang-orang yang Menunggu

IMG01928-20140813-1225

Pernah kan lihat orang-orang yang sedang menunggu? Apalagi menunggu sambil nggak ngapa-ngapain? Apa yang mereka lakukan? Biasanya kalau nggak ada yang dikerjakan, saat kita menatap mereka sejenak, mereka juga akan balas menatap. Contohnya ya seperti gambar di atas. Orang-orang yang hanya menunggu dan berpangku tangan. Tanpa berbuat sesuatu.

Gambar di atas yang saya jepret ketika selesai mengantar bekal makan siang anak-anak di sekolah. Setelah ke SMAnya Nadia dan nitip bekal ke guru piket, saya dan istri terus ke sekolah dua anak yang masih SD. Jaman sekarang kalau anak SMA masih diantarin bekal makan siang, mungkin udah jarang kali ya. 🙂

Dan waktu di SD, sebelum pulang sekalian lewat gedung SMP  yang satu lokasi yang baru selesai dibangun. Akhirnya dapatlah poster yang digantung di plafon depan ruang kelas.

Nampaknya pesan poster itu tak hanya ditujukan untuk murid-murid, juga guru-guru dan pengurus sekolah supaya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan melakukan sesuatu. Jangan hanya bengong dan membuang-buang waktu. Dan pesan yang lebih penting adalah jangan menunggu waktu yang tepat untuk berbuat sesuatu. Jangan menunggu mau ulangan baru belajar. Jangan menunggu mengerjakan PR setelah tahu besok harus dikumpulkan. Jangan menunggu siswa-siswa protes dulu baru mengajarnya lebih disiplin.

Dalam pengertian yang lebih luas, kalimat di atas bisa berlaku untuk kita juga. Jangan menunggu dapat ide yang bagus baru menulis. Tuliskan saja apa yang sedang dipikirkan saat ini. Jangan menunggu hingga kaya untuk bersedekah. Berikan saja saat ini seberapa yang kita punya. Jangan menunggu orang lain berbuat baik dulu pada kita, baru kita mau berbuat baik. Jangan menunggu dikoreksi orang lain dulu baru mau berubah. Jangan menunggu disuruh dulu baru bertindak.

Lebih baik berinisiatif melakukan sesuatu dalam kondisi apapun. Seperti pesannya pak Mario Teguh, “Bersikap dan berbuatlah sebaik-baiknya dalam seburuk-buruknya keadaan”. Karena tidak akan datang waktu yang tepat jika hanya menunggu dan berpangku tangan. Nggak hanya itu, kesan orang lain yang melihat jadi negatip. Beda dengan mereka yang menunggu sambil mengerjakan sesuatu. Membaca, belajar hal baru, menolong orang lain atau berdzikir adalah lebih baik daripada duduk berpangku tangan. Orang-orang yang menunggu sambil berbuat sesuatu akan terlihat lebih punya nilai. Kita pun yang melihatnya nggak merasa suntuk dan gemas.

Memang ada pilihan di saat menunggu. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat apa pun alias berpangku tangan. Dan diri kita sendirilah yang memutuskannya.

 

Kegedhen Empyak Kurang Cagak

Sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Isinya mengejutkan karena seorang rekan minta pinjaman sekitar 100 juta. Di SMS dia juga cerita kalau rumahnya akan disita bank bila utangnya nggak dilunasi.

Saya tidak pernah membayangkan kalau SMS itu datang dari salah seorang rekan kerja yang selama ini saya golongkan kelas menengah ke atas. Ada apa gerangan kok dia sampai pinjam uang ratusan juta? Padahal kalau dilihat penampilannya sewaktu bekerja memang cukup bergengsi.

Saya lihat di kantor dia sering gonta-ganti mobil. Kendaraan terbarunya Toyota Fortuner yang harganya tiga ratusan juta lebih. Jauh mentereng dbandingkan dengan saya yang masih setia memakai Suzuki Carry tahun 1991. Selain bekerja di grup perusahaan swasta yang sama dengan saya, jiwa bisnisnya juga jalan. Bosan dengan mobil yang dipakai lantas dijual. Kemudian dia beli mobil keluaran terbaru yang harganya lebih mahal. Sebelum membeli Fortuner, dia punya mobil sedan yang akhirnya dijual ke teman kerjanya di kantor. Sebelum punya sedan saya pernah lihat dia mengendarai minibus.

Pernah juga saya diajak untuk bisnis pulsa elektronik. Saya terima tawarannya karena nilainya masih sesuai dengan kemampuan keuangan. Juga saya anggap bermanfaat minimal kalau saya habis pulsa nggak perlu repot-repot cari voucher. Bisa isi pulsa sendiri juga sekali-kali transfer pulsa untuk istri dan anak-anak. Hal itu terus berjalan sampai sekarang. Dia juga pernah menawarkan investasi emas batangan. Namun tawaran yang satu ini saya tolak karena perlu modal besar sampai puluhan juta. Terakhir saya dengar dia memperluas investasinya di bidang valutat asing (valas).

Saya menilai dia termasuk orang yang lincah, ulet dan berhasil dalam bisnisnya hingga datang SMS yang tak terduga itu. Saya baru mengetahui dari cerita rekan kantor lainnya rupanya dia terjerat utang bank. Saya tidak tahu pasti apakah ini salah satu trik dia untuk menarik simpati dan rasa iba saya agar meminjamkan uang atau kondisi keuangannya memang benar-benar sudah parah. Saat itu saya hanya berpikir, kalaupun dia benar-benar terjerat utang bank ratusan juta, saya tetap tidak dapat menolongnya karena uang ratusan juta bagi saya adalah jumlah yang besar.

Yang saya nggak mengerti adalah kenapa untuk berinvestasi dia harus menggadaikan rumahnya ke bank. Padahal keluarga dia tinggal di situ. Apakah tidak ada pilihan lain? Kenapa dia nggak menggadaikan Fortunernya untuk mendapat pinjaman? Menggadaikan rumah tinggal untuk mendapat pinjaman adalah langkah yang sangat beresiko. Karena sewaktu-waktu bisa saja kita diusir gara-gara nggak bisa mengembalikan pinjaman.

Saya teringat dengan pepatah Jawa Kegedhen Empyak Kurang Cagak. Arti sebenarnya adalah atap rumah yang terlalu besar sementara tiangnya kurang. Bila kita membuat atap yang ukurannya besar tapi jumlah tiang-tiangnya kurang, atap tetap bisa berdiri tapi lama kelamaan ambruk bila hujan lebat atau terkena angin kencang. Karena berat atap nggak mampu disangga oleh tiang-tiangnya. Pepatah di atas juga bisa diartikan seseorang yang ingin tampil mewah dan dianggap wah oleh lingkungan sekitarnya. Namun tidak didukung oleh kemampuan dirinya yang sebenarnya. Kemampuan itu bisa dalam bentuk keuangan, kesehatan atau pengetahuan.

Dalam bahasa Indonesia pepatah tersebut kurang lebih sama artinya dengan Besar Pasak daripada Tiang. Namun peribahasa tersebut lebih ditujukan pada seseorang yang memiliki pengeluaran lebih besar daripada pendapatan atau penghasilannya.

Ada satu pelajaran yang saya dapatkan dari masalah yang dihadapi rekan kerja tersebut. Bahwa kita seharusnya memperhitungan dengan matang sebelum berinvestasi. Boleh-boleh saja kita menanamkan uang untuk menambah penghasilan atau menjaga penampilan. Namun jangan sampai keblalasan sehingga malah menghabiskan uang dan tabungan kita. Karena dalam berumah tangga, selain investasi masih ada kebutuhan lainnya yang harus kita penuhi. Mulai dari belanja kebutuhan sehari-hari, membayar tagihan air, listrik, telepon, biaya sekolah anak-anak, cicilan kendaraan dan rumah, tabungan untuk mengantisipasi jika terjadi hal-hal di luar rencana, juga alokasi untuk asuransi.

Pepatah Kegedhen Empyak Kurang Cagak yang pernah saya dapatkan ketika SD sekitar 30 tahun lalu ternyata hingga saat ini masih relevan. Sebuah ajaran yang mengingatkan agar kita jangan terjebak dengan kehidupan yang mengutamakan gengsi yang akhirnya justru mengorbankan kondisi keuangan kita. Jangan sampai bergaya hidup glamor karena ingin tersohor, akhirnya malah bikin tekor.

banner

Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati

Sempatkanlah untuk Sholat Dhuha

Setelah sholat tahajud, sholat sunah yang sangat dianjurkan dilakukan adalah sholat dhuha. Hambatan paling besar melaksanakan sholat tahajud adalah menyempatkan waktu untuk bangun dini hari. Waktu asyik-asyiknya untuk tidur nyenyak. Ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi bagi orang yang sering tidur larut malam. Meski sudah pasang alarm bisa saja dia bangun. Tapi bangun untuk mematikan alarm, kembali berbaring di ranjang dan akhirnya tertidur.

Berbeda dengan sholat tahajud yang dilakukan ketika dini hari. Sholat dhuha justru dilakukan ketika kita sedang bersiap-siap untuk memulai aktivitas di pagi hari. Ketika matahari telah terbit sepenggalah atau sekitar jam 7 pagi hingga menjelang waktu zhuhur. Namun waktu yang paling afdol adalah antara jam 7 – 9 pagi.

Biasanya saat itu kita sedang bersiap-siap belajar di sekolah, kuliah di kampus, bekerja di kantor ataupun berada dalam perjalanan. Tantangannya adalah dapatkah kita menyempatkan diri menyediakan waktu sejenak untuk sholat dhuha? Harusnya bisa kita lakukan. Karena sholat dhuha dapat dikerjakan 2 rakaat dan ini memerlukan waktu hanya 5-10 menit. Jika waktunya senggang jumlah rakaatnya bisa ditambah menjadi 4, 6, 8, 10 rakaat atau 12 rakaat.

Biasanya saya sempatkan untuk sholat dhuha 4 rakaat. Pertama 2 rakaat diakhiri salam dan dilanjutkan 2 rakaat lagi. Karena jam masuk kerja di tempat tugas agak pagi yaitu jam 6.15 pagi, biasanya sholat dhuha saya lakukan setelah sarapan, sekitar jam 7 pagi.

Bagi yang masuk kerja jam 8 pagi, ada banyak kesempatan dan waktu untuk melaksanakan sholat dhuha. Bisa saja ketika di rumah sebelum berangkat kerja, menyempatkan diri untuk sholat dua rakaat dhuha. Atau bila jarak antara rumah dan tempat kerja cukup jauh, sehingga harus berangkat dari rumah jam 5 pagi, sholat dhuha bisa dikerjakan di musholla atau masjid di tempat kerja.

Buat yang kuliah, sholat dhuha bisa dilakukan saat menunggu waktu kuliah tiba. Bahkan waktunya lebih longgar daripada karyawan atau pekerja. Untuk yang berada dalam perjalanan misalkan di bandara, saat delay pesawat di pagi hari bisa saja dimanfaatkan untuk sejenak dhuha. Daripada waktu dihabiskan hanya untuk menggerutu atau ngomel.

Hanya saja kalau kita mengerjakan sholat dhuha di tempat kerja, pandai-pandailah mengatur waktu. Terutama sebagai karyawan yang tugas utamanya melayani masyarakat. Jangan sampai karena sholat dhuha, pelanggan, klien atau nasabah harus menunggu lama karena tidak ada yang melayani. Waktunya bisa saja diatur bergantian dengan teman kerja. Dan setelah selesai mengerjakan segera kembali ke tempat tugas dan tidak berlama-lama di musholla atau masjid.

Apa sebenarnya manfaat mengerjakan sholat dhuha? Dalam salah satu hadits Nabi disebutkan bahwa bila kita mengerjakan dua rakaat sholat dhuha, maka Allah akan menjamin rezeki kita dari pagi hingga sore hari. Dan saya mengartikan rezeki itu dalam arti yang luas. Tidak hanya berupa uang. Shalat dhuha juga merupakan ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT.

Diberikan badan yang sehat, terhindar dari malapetaka, dipermudah urusan dan memperoleh jalan keluar yang tidak diduga-duga adalah juga rezeki yang diberikan Allah SWT. Dan semua itu perlu kita syukuri.

Ada satu kejadian menarik ketika beberapa hari lalu saya ingin bertemu teman kerja, katakanlah berinisial P. Dia bertugas di tempat lain yang berjarak 20 km. Pagi hari saat masuk kerja, saya berharap hari itu dia akan datang ke tempat kerja saya karena ada satu pesan yang harus saya sampaikan.

Saya coba telepon tapi HPnya tidak aktif. Akhirnya keinginan itu saya ucapkan dalam hati. Selesai sarapan saya sempatkan untuk sholat dhuha 4 rakaat di kamar mess karyawan. Subhanallah, tanpa saya duga ketika menjelang siang hari dia datang. Pesan untuknya akhirnya bisa saya sampaikan pada hari itu juga.

Bisa jadi, salah satu kemudahan dalam urusan pekerjaan seperti itu adalah pertolongan Allah. Dan hal itu Insya Allah akan datang bila kita membiasakan diri mengerjakan sholat dhuha.

Kalau direnungkan terkadang ironis ya. Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam menemui klien, pelanggan atau mitra kerja. Berjam-jam menunggu pesawat yang delay atau berinteraksi di media sosial. Chating, update status, balas komentar kawan atau browsing di dunia maya. Namun sayangnya,  kita terkadang nggak sempat meski hanya 10 atau 15 menit berinteraksi dengan Yang Maha Kuasa lewat sholat dhuha.

Menulis Adalah Membuang Kotoran dalam Hati

Terkadang kita suka menilai negatip seseorang yang suka curhat dengan mengungkapkan kegalauannya di media sosial. Melampiaskan kejengkelannya di Facebook. Menumpahkan kekesalannya di Twitter. Atau mengekspresikan kekecewaannya di blog pribadi.

Media sosial sepertinya menjadi wadah yang tepat untuk menampung semua uneg-uneg dalam hati tersebut. Bisa jadi seseorang yang menuliskan perasaan hatinya di media sosial tersebut tidak berharap dikomentari oleh orang lain. Dia hanya mengeluarkan kotoran-kotoran yang ada dalam hatinya. Membuang sampah-sampah yang kian hari kian menumpuk di dalam jiwa. Rasa kesal, marah, jengkel, kecewa adalah kotoran dan sampah dalam jiwa yang perlu dikeluarkan.

Seperti halnya kolesterol atau asam urat yang berada dalam tubuh kita. Bila jumlahnya berlebihan tentu akan mempengaruhi kesehatan fisik kita. Serangan penyakit jantung, stroke akan menimpa seseorang bila tidak dapat mengendalikan kadar kolesterol dalam tubuhnya.

Berbagai cara pun dilakukan agar kadar kolesterol jahat (LDL) menurun dan sebaliknya kadar kolesterol baik (HDL) meningkat. Olahraga, mengurangi asupan makanan tinggi kolesterol hingga mengonsumsi obat-obatan ditempuh agar kadar kolesterol berada dalam angka yang ideal yaitu dibawah 200.

Demikian juga dengan kesehatan jiwa kita. Kadar rasa marah, jengkel, kecewa, frustasi perlu kita kendalikan agar semakin hari tidak semakin bertambah. Kondisi psikis atau kejiwaan seseorang yang saban hari didera hal-hal negatip tak hanya menimbulkan stress. Namun juga akan berpengaruh terhadap kesehatan fisiknya.

Tak heran kalau seseorang yang sedang mengalami stres berkepanjangan, penyakit fisik seperti migrain, flu, sakit perut akan mudah datang. Ada korelasi antara peningkatan stres dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh kita.

Menulis dapat menjadi salah satu terapi untuk mengatasi berbagai perasaan negatip dalam jiwa kita. Tulislah apa yang anda rasakan dan alami saat ini. Keluarkan perasaan negatip yang selama ini membebani hati anda. Buanglah rasa kesal, kecewa, marah dalam hati anda dengan menuliskannya. Isilah ruang dalam hati anda dengan perasaan positip seperti bersyukur, sabar, tidak mudah menyerah, tetap bersemangat dan selalu berpengharapan baik.

Tak perlu memendam perasaan negatip dalam diri. Bila anda punya teman akrab, ceritakan uneg-uneg yang anda alami. Bila anda punya buku diary, tulislah segala kekesalan, kemarahan dan kekecewaan yang anda rasakan. Dan saat ini, berbagai media sosial siap menjadi buku diary yang akan menampung ungkapan perasaan diri anda. Menulislah. Karena menulis akan membuat jiwa anda terasa lebih damai. Dan hati anda akan lebih banyak terisi oleh perasaan positip.

Menjadi Inspektur Upacara HUT RI ke-69

Jadi Irupfoto: Taufik Prihartanto

Tahun ini saya kebagian tugas lagi menjadi Inspektur Upacara memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-69. Bertugas dua kali sebagai Inspektur Upacara. Pagi hari saat upacara pengibaran bendera dan sore hari waktu penurunan bendera. Terakhir kali lima tahun lalu saya menjalankan tugas yang sama. Tugas menjadi Inspektur Upacara bendera memang tidak lama. Hanya sekitar 40 menit. Tapi persiapan dan latihannya bisa lebih dari 1 jam dan berulang-ulang.

Pada saat latihan dan gladi resik memang tidak banyak peserta upacara yang ikut. Hanya petugas upacara, mulai dari pasukan pengibar bendera, komandan upacara dan komandan pasukan plus anggota paduan suara.

Meski belum diikuti peserta upacara dan nggak dilihat banyak orang, tapi tetap saja ada kesalahan dalam latihan. Pembawa acara yang lupa tidak menyebutkan pembacaan teks Pancasila, juga saya yang ambil langkah balik kiri dan bukan balik kanan waktu meninggalkan lapangan upacara.

Namun itulah gunanya latihan. Kesalahan-kesalahan yang terjadi justru berguna untuk dievaluasi dan diharapkan tidak berulang saat hari H. Karena upacara bendera adalah pekerjaan tim, kesalahan kecil yang dilakukan salah satu petugas dapat mempengaruhi performa petugas yang lainnya dan berpotensi merusak jalannya upacara.

Oleh karena itu, selesai latihan petugas dari kepolisian yang melatih langsung mengoreksi. Perbaikan dilakukan saat itu juga. Tidak ditunda-tunda. Bahkan saya yang balik kiri waktu upacara selesai juga langsung dikoreksi.

“Tadi bapak ambil langkah balik kiri, harusnya balik kanan. Nanti bisa diketawain peserta upacara, Pak,”tegur petugas yang mengawasi jalannya upacara. Langsung dia memberi contoh bagaimana gerakan balik kanan dilakukan. Kaki kiri melangkah ke depan, kemudian badan memutar 180 derajat. Saya pun mencoba melakukannya beberapa kali.

“Spektakuler. Nggak ada kesalahan yang dibuat petugas upacara”, kata penanggungjawab upacara dari bagian umum dan humas ketika makan malam tanggal 17 Agustus.

Alhamdulillah. Semuanya saat itu fokus dan menjalankan tugas dengan baik. Namun ada satu cerita yang bikin saya tersenyum simpul. Selesai upacara pengibaran bendera ketika di mobil dalam perjalanan pulang, rekan kerja yang ikut upacara bilang,”Tadi di lapangan orang-orang bilang Inspektur Upacaranya mirip Jokowi”. Hah, apa benar saya mirip Jokowi?

Merdeka!!!

Ibu yang Merapikan Sandal di Masjid

IMG01929-20140813-1257

Di masjid Mujahidin Pontianak, ada seorang ibu yang kerjaannya merapikan sandal dan sepatu orang-orang yang sedang shalat.

Setiap ada orang yang melepas sepatu/sandal dan meletakkannya sembarangan, ibu itu langsung mengambil dan menyusunnya berjejer rapi. Posisinya menghadap ke belakang. Jadi sehabis sholat dan keluar masjid, orang-orang nggak harus mencari-cari sandal/sepatunya yang berserakan. Tapi sudah tersusun apik dan bisa cepat tahu miliknya, terus dipakai tanpa harus memutar badan.

Masih di masjid yang sama, sekitar 50 m dari tempat ibu yang merapikan sandal tadi ada juga seorang ibu yang duduk berpayung. Dia kerjaannya meminta-minta. Menunggu belas kasihan orang-orang yang lewat di depannya.

Saya perhatikan, ternyata banyak orang-orang yang selesai sholat justru tergerak memberikan tips untuk ibu yang merapikan sandal/sepatu. Hampir nggak ada jamaah yang berhenti sejenak di depan ibu pengemis dan memberikan uang.

Dan setelah menerima tips, ibu itu mengucap syukur dan menempelkan lembaran rupiah ke dahinya.

Ternyata, usaha ibu itu lebih dihargai oleh hampir setipa orang yang selesai sholat di masjid. Tanpa ibu itu meminta ongkos menata dan merapikan sandal/sepatu, jamaah terlihat ikhlas merogoh kocek dan menyerahkannya ke ibu atau anak yang dibawanya.

Satu pelajaran saya dapatkan. Sebuah kejadian yang membuat saya berpikir. Bahwa bekerja untuk merapikan sandal adalah jalan terbukanya rejeki untuk si ibu itu. Dan berusaha memudahkan urusan orang lain ternyata lebih menarik simpati jamaah untuk memberikan lembaran rupiah daripada hanya bekerja meminta-minta.

Orangtua yang Berlebaran ke Tempat Anaknya

Yang namanya mudik itu biasanya ketika kita pulang ke kampung halaman dan bertemu kedua orangtua. Anak dan menantu berkunjung ke rumah orangtua dan mertua. Namun yang dilakukan oleh bapak dan ibu mertua berbeda. Beliau-beliau justru berlebaran di rumah salah satu putrinya di Denpasar.

Kenapa bisa seperti itu? Kok malah orangtua yang datang ke rumah anaknya waktu lebaran dan bukan sebaliknya? Saya jadi ingat sebuah iklan produk bank di televisi tentang seorang pria yang nggak bisa mudik waktu lebaran.

Seorang anak menelepon ibunya dan mengabarkan kalau nggak bisa pulang waktu lebaran karena pekerjaan. Kemudian pria itu mengirim uang via mobile banking produk salah satu bank milik pemerintah. Mendengar anaknya nggak bisa pulang waktu lebaran, sang ibu pun paham dan punya rencana yang cemerlang.

Setelah mengambil uang di ATM, sang ibu kemudian membeli tiket kereta api secara online dan bepergian sendiri tanpa memberitahu terlebih dahulu. Salut juga dengan sang ibunda yang terlihat mengikuti perkembangan jaman dan nggak gaptek.

Tiba di rumah, sang anak terkejut bukan kepalang bercampur bahagia melihat ibunda tercinta sudah berada di hadapannya. Sebuah iklan yang menyentuh hati dan nampaknya pesan yang disampaikan cukup mengena. Bahwa lebaran bisa saja seorang anak nggak bisa pulang mudik. Namun bukan berarti dia nggak bisa bertemu ibunya. Dengan layanan fasilitas perbankan dan kereta api, pertemuan itu tetap bisa berlangsung meski sang ibu yang harus bepergian menemui anaknya

Hampir sama kisahnya dengan kedua bapak ibu mertua yang tinggal di Jogja. Setelah mendengar bahwa tahun ini anak-anaknya nggak bisa mudik, rencana kerkunjung ke rumah salah satu anaknya pun disusun.

Istri saya yang terlahir sebagai anak sulung tahun ini nggak bisa pulang, karena tahun lalu sudah pulang ke Jogja. Demikian juga adik yang nomor tiga yang tinggal di Denpasar. Dia bersama suami dan dua anaknya tahun ini nggak mudik ke Jogja. Setali tiga uang dengan yang nomor empat yang berlebaran bersama istri dan anaknya di Depok, Jawa Barat. Sementara adiknya yang bungsu juga nggak ke Jogja tapi berlebaran di tempat istri dan mertuanya di Blora. Empat anaknya, menantu dan cucu-cucunya tahun lalu sudah mudik ke Jogja sehingga tahun ini nggak pulang.

Jadi tinggal adik nomor dua saja yang masih berlebaran di Jogja karena sekeluarga tinggal di kota Gudeg bersama bapak dan ibu. Akhirnya bapak ibu mertua dan anaknya yang nomor dua sekeluarga memutuskan untuk ikut tur ke Bali menggunakan bis. Berlebaran di rumah anaknya yang nomor tiga sekalian berwisata. Berangkat dari Jogja tanggal 26 Juli dan pulang tanggal 30 Juli. Waktu lihat foto-fotonya di BB, wah jadi pengin juga berlibur ke Bali. Apalagi ibu mertua termasuk rajin mengunggah foto-foto. Suasana mulai sholat Ied sampai jalan-jalan ke ke Uluwatu, tempat penangkaran penyu, dll hampir semuanya diunggah di BB. Bermacam komentar dari anak dan menantunya pun bermunculan. Kalau saya jadi silent reader saja 🙂

Setelah pulang ke Jogja, rencana mau lebaran dimana tahun depan sudah mulai jadi obrolan di BB. Nampaknya beliau-beliau ingin berlebaran ke tempat anaknya yang tinggal di Depok. Terus jalan-jalan ke tempat wisata di Jabodetabek. Ada juga ide supaya berlebaran di tempat anaknya yang bungsu di Kroya, sekalian jalan-jalan ke Baturaden. Bagi anak-anak dan menantunya yang tertarik dan mau gabung dipersilakan.

Menyimak apa yang dilakukan bapak ibu mertua kelihatannya menarik. Jadi tradisi mudik tidak berarti seluruh anggota keluarga, terutama anak-anak menantu dan cucu-cucu harus pulang ke kampung halaman. Apalagi kalau waktu sebelum lebaran sudah pernah bertemu. Sesekali perlu juga orangtua yang ditawarkan untuk mengunjungi tempat anak-anaknya secara bergantian, sekalian menikmati suasana baru dan sambil berwisata. Tertarik?

7 Langkah Mudah Berinvestasi Kesehatan

Road To 64

Selama ini kita sering mengartikan investasi dengan menanamkan uang dalam bentuk deposito, saham, tanah, logam mulia dan properti. Dalam hal ini investasi lebih kita pahami sebagai upaya untuk meningkatkan aset berupa harta yang kita miliki. Caranya dapat dilakukan dengan menyisihkan setiap bulan sebagian penghasilan yang kita dapatkan dari bekerja.

Tujuannya adalah dalam jangka waktu tertentu, kita menginginkan imbal hasil yang dapat digunakan untuk memenuhi rencana keuangan kita, misalkan untuk biaya kuliah anak-anak atau biaya hidup ketika pensiun.

Namun pernahkah kita menyadari bahwa menjaga kesehatan adalah juga bagian dari investasi? Berbeda dengan berinvestasi dalam bentuk materi, hasil investasi kesehatan yang kita lakukan adalah dapat mengurangi resiko terserang penyakit yang muncul ketika memasuki usia tak produktif serta biaya-biaya pengobatannya.

Apa yang kita lakukan saat ini terkait dengan pola makan dan pola hidup akan mempengaruhi kesehatan kita pada saat usia lanjut. Kita tentu ingin agar kelak ketika memasuki usia 60-an badan kita tetap sehat. Juga tidak dibebani dengan berbagai penyakit yang memerlukan biaya mahal untuk mengobatinya yang muncul akibat kurangnya berinvestasi menjaga kesehatan pada saat usia produktif.

Apa saja hal-hal perlu kita lakukan yang dapat menjadi investasi kesehatan bagi diri kita? Berdasarkan pengalaman beberapa orang yang pernah saya temui, ada kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan secara kontinu dan konsisten sehingga mereka memiliki umur hingga 60 tahun ke atas dan jarang terserang penyakit. Beberapa kebiasaan yang baik tersebut adalah:

1. Tidak Merokok
Cukup banyak kerugian yang ditimbulkan akibat merokok bagi kesehatan badan. Berbagai himbauan dan peringatan tentang akibat buruk merokok yang disampaikan melalui media elektronik, media cetak maupun dalam kemasan bungkus rokok nampaknya belum membuat jera bagi para perokok.

Merokok bagi sebagian orang memang terasa nikmat namun dampak yang ditimbulkan rokok bersifat merusak kesehatan terutama penyakit jantung koroner dan kanker paru-paru. Tentu kita tak ingin pada saat usia-usia lanjut justru terkena penyakit tersebut yang membutuhkan biaya besar untuk penyembuhannya. Oleh karenanya, pilihan saya untuk tidak merokok adalah salah satu investasi hidup sehat.

2. Lebih Banyak Makan Sayuran dan Buah-Buahan
Salah seorang bos saya di kantor saat ini lebih sering mengonsumsi sayuran dan buah-buahan. Sayuran terutama yang berwarna hijau seperti bayam, sawi dan kacang panjang sering disantap saat sarapan, makan siang maupun makan malam. Memang usianya sudah memasuki kepala enam, namun tekadnya untuk menjaga kesehatan patut diacungi jempol. Tak hanya itu, jus buah jeruk juga menjadi konsumsi ketika pagi hari sebelum sarapan.

Kebiasaan mengonsumsi lebih banyak sayuran dan buah-buahan tersebut saat ini saya tiru. Pola makan saya ubah. Saya lebih memilih ikan, tahu, tempe atau sayuran dan mengurangi konsumsi daging merah dan olahannya. Terkadang saya pesan ke istri supaya memasak sayur yang berkuah atau membuat gado-gado. Di kantor, saya juga berpesan kepada kepala dapur supaya menu makannya perlu diselingi dengan yang bahannya lebih banyak dari sayur seperti membuat nasi pecel atau lalapan yang berisi daun ubi, kacang panjang, sawi plus sambal.

Saya nggak menduga rupanya menu lalapan sayur segar itu juga disukai teman-teman kerja. Meski saat ini usia saya baru 43 tahun, namun dengan memilih lebih banyak makan sayur dan buah-buahan, ini adalah bentuk investasi agar kelak ketika diberikan umur panjang oleh Tuhan hingga 60 tahun, saya masih memiliki badan yang sehat.

IMG01920-20140802-2005

3. Lebih Sering Menyantap Makanan yang Direbus
Pola makan warga masyarakat di desa yang lebih sering menyantap makanan yang direbus sebenarnya baik bagi kesehatan karena mengurangi konsumsi minyak goreng. Jagung, kacang, ubi dan singkong rebus adalah beberapa makanan tradisional yang saat ini sudah jarang dikonsumsi warga di kota. Sebagai gantinya mereka lebih banyak menyantap makanan yang digoreng atau dibakar.

Mengenai makanan yang direbus ini saya punya cerita menarik. Pemilik perusahaan di mana saat ini saya bekerja, makan makanan yang direbus sudah menjadi menu rutin sehari-hari. Setiap kali makan beliau pasti minta ada hidangan yang direbus. Tak heran di usia yang sudah mencapai 80 tahun, jika melihat postur tubuh dan raut wajahnya beberapa orang mengira dia masih berusia 60 tahun. Saat ini saya pun mencoba untuk membuat variasi cara mengolah makanan. Mengurangi konsumsi makanan yang digoreng dan dibakar kemudian membiasakan menyantap makanan yang direbus seperti telur, ubi cilembu dan jagung manis.

4. Aktif Melakukan Kegiatan Fisik
Selain mengatur pola makan, hal lain yang perlu kita biasakan adalah sering melakukan aktivitas fisik. Ada banyak aktivitas fisik yang bisa kita pilih dan jalankan secara rutin di mana pun kita berada. Bagi yang lebih banyak bekerja di kantor dan duduk berjam-jam menghadap layar monitor, mengurangi penggunaan lift dan memilih berjalan kaki menggunakan anak tangga adalah kebiasaan yang perlu dilakukan. Beristirahat sejenak dan berjalan-jalan ke bagian atau ruangan lain adalah juga kegiatan yang bisa dipilih.

Para traveller atau profesional yang sering bepergian menggunakan pesawat dan tak punya banyak waktu untuk berolahraga, memilih berjalan kaki menuju pintu keluar ruang kedatangan dan tidak menggunakan eskalator adalah keputusan bijak untuk membiasakan melakukan olahraga ringan. Bahkan pada saat menginap di hotel, mereka dapat menggunakan fasilitas fitness centre atau kolam renang untuk tetap menjaga kebugaran tubuh.

Bagi umat Islam, ada ibadah ritual yang sebenarnya mengajak kita untuk lebih banyak beraktivitas fisik. Contohnya adalah sholat. Filosofi sholat dari sisi kesehatan adalah hampir mirip dengan olahraga senam. Sholat memungkinkan anggota badan mulai dari kepala hingga kaki tetap aktif bergerak dalam waktu-waktu tertentu secara teratur.

Tak hanya itu, bagi yang sering melaksanakan sholat berjamaah, aktivitas berjalan kaki dari rumah ke masjid juga selain bernilai ibadah juga memiliki fungsi kesehatan. Hal tersebut yang beberapa bulan ini saya jalani terutama pada saat sholat subuh. Setelah berwudhu di rumah, saya bergegas menuju masjid dengan berjalan kaki untuk sholat shubuh berjamaah. Waktu tempuh dari rumah ke masjid pergi pulang sekitar 20 menit dengan berjalan kaki itu saya anggap sekalian berolahraga pagi.

Berjalan kaki di saat shubuh juga memberikan kesempatan paru-paru kita untuk menghirup udara yang masih segar dan bersih tanpa polusi asap kendaraan. Apabila hal ini bisa dilakukan secara rutin Insya Allah akan bermanfaat juga dalam menjaga kesehatan badan kita.

5. Belajar dan Mencoba Hal Baru
Saya terinspirasi dengan ibu mertua saya yang meski sudah berusia di atas 60 tahun, namun rajin menggunakan smartphone untuk berkomunikasi dengan anak-anak dan menantunya. Saya salut dengan keinginan beliau untuk belajar, otak-atik gadget dan bertanya pada yang lebih muda dalam menggunakan teknologi agar tetap terhubung dengan anak-anaknya yang tinggal di lain kota.

Saat ini, setiap kali beliau berkunjung ke rumah anak-anaknya atau menghadiri acara di tempat kerabat pasti memberitahu lewat BBM. Juga ada gambar atau foto yang diupload. Nggak hanya itu, ngobrol, update status dan berkomentar dalam grup keluarga juga sering dilakukan. Karena seringnya berinteraksi di grup, beliau tahu siapa saja anak-anak dan menantunya yang rajin update dan berkomentar.

Pernah sekali ibu mertua bertanya ke istri saya,”Kenapa mas Yudhi kok jarang sekali berkomentar di grup keluarga”. Nah, lho ketahuan deh kalau saya jarang kasih komentar. Keinginan untuk belajar dan mencoba hal baru agar mudah berkomunikasi dengan anak-anak serta menantunya tersebut, bisa jadi yang membuat ibu mertua saat ini tetap fit dan sehat di usia yang mencapai lebih dari 60 tahun.

6. Mengendalikan Stres
Stres memang tak bisa dihindari oleh siapa pun. Pada kadar tertentu stres diperlukan agar diri kita termotivasi untuk meraih apa yang kita cita-citakan. Namun terkadang permasalahan dalam keluarga maupun pekerjaan yang tidak tertangani secara tuntas dapat menyebabkan stres. Oleh karena itu dianjurkan jika kita menghadapi masalah maka upayakan untuk segera diselesaikan, karena menunda pemecahan masalah sama saja dengan mengundang datangnya masalah baru.

Jika diri kita tidak mampu menyelesaikan, usahakan minta bantuan seseorang yang kita percayai. Kita bisa minta bantuan keluarga, sahabat atau berkonsultasi langsung kepada ahlinya. Beberapa orang melakukan kegiatan yang mereka sukai untuk mengusir stres. Coba ingat-ingat kembali apa saja kegiatan, hobi atau kesukaan yang selama ini jarang kita lakukan karena kesibukan sekolah atau pekerjaan. Luangkan waktu sejenak untuk pilih salah satu kita sukai seperti berolahraga, berkebun, memelihara hewan ternak, bermain musik, travelling, memasak atau membaca buku.

Untuk mengurangi stres, saya biasa memberi makan ikan yang dipelihara di belakang kamar. Melihat ikan-ikan menyantap pakan yang dilempar ke air serasa ada keasyikan tersendiri dan sejenak bisa melupakan berbagai masalah penyebab stres. Ngeblog juga aktivitas lainnya yang biasa saya lakukan untuk mengendalikan stres.

7. Berdoa
Semua yang kita lakukan di atas akan terasa lebih lengkap bila kita iringi dengan doa kepada yang Maha Kuasa. Upaya-upaya untuk menjaga kesehatan yang kita lakukan secara fisik akan terasa ikhlas, bila kita menyerahkan semua hasilnya kepada yang Maha Mengenggam jiwa dan raga kita.

Kita berdoa dan berpengharapan agar ikhtiar yang telah kita lakukan berkenan di hadapan Tuhan. Dan atas kehendakNya kita diberikan umur yang panjang serta mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat bagi sesama. Sebagai seorang muslim, saya berusaha untuk tidak lepas melaksanakan sholat lima waktu. Saat-saat setelah sholat itulah ucapan syukur dan doa seringkali saya panjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Bersyukur atas nikmat yang telah diberikanNya dan memohon agar diberikan perlindungan dari gangguan serta kejahatan makhluk-makhluknya.

Artikel  ini diikutsertakan pada Giveaway Seminggu:  Road To 64

Quick Count ala Rumah Makan

Setiap kali menempuh perjalanan Pinoh-Pontianak pergi pulang menggunakan kendaraan umum, bis yang saya tumpangi selalu singgah di rumah makan di daerah Sosok. Ada beberapa rumah makan yang menjadi persinggahan bis-bis antar kota maupun antar negara. Masing-masing rumah makan memiliki pelanggan dari perusahaan otobis yang berbeda.

Di tempat ini, para penumpang yang ingin makan dipersilakan antri mengambil hidangan yang diletakkan di etalase kaca secara prasmanan. Selesai mengambil makanan, penumpang duduk di dalam ruangan yang terpisah dengan sopir. Tak lama, ada karyawan yang mendatangi meja penumpang dan menanyakan jenis minuman yang diinginkan. Setelah memesan minuman, dia lalu melihat apa saja hidangan yang tersaji di atas piring. Tanpa kalkulator dia langsung melakukan hitung cepat dan mencatat pada sepotong kertas harga makanan yang sedang dinikmati penumpang.

Hasilnya, tak sampai setengah menit kertas yang berisi harga makanan itu diletakkan dalam posisi angkanya tertutup di atas meja. Biasanya saya penasaran ingin tahu berapa sih harga makanan yang harus dibayar. Tapi rasa penasaran itu saya tahan dulu sampai selesai makan.

Sebelum menuju kasir saya buka kertas itu. Tertulis Rp 16.000 untuk sepiring nasi putih, sayur daun ubi, dua potong tahu goreng, sepotong tempe goreng dan segelas teh panas manis. Kenapa saya hanya makan dengan lauk seperti itu? Belajar dari pengalaman teman yang pernah juga makan di rumah makan tersebut. Makan di rumah makan dengan perhitungan ala quick count seperti ini memang harus hati-hati memilih lauknya. Saya biasanya menghindari mengambil lauk berupa ayam atau daging, karena harganya mahal.

Tak hanya itu. Kita juga perlu sedikit kritis dan tidak terburu-buru langsung membayar ke kasir. Perlu teliti apakah harga yang harus kita bayar tidak kemahalan dengan menu yang dimakan. Karena menghitung harga makanan  dengan cara quick count seperti ini bisa saja salah. Apalagi kalau kita makan tak hanya sendirian, tapi bersama-sama keluarga atau teman-teman.

Ini yang pernah dialami istri saya ketika makan bersama anak-anak. Waktu menerima kertas yang berisi harga makanan yang harus dibayar untuk lima orang, istri saya minta supaya hitungannya dicek lagi karena terlalu mahal. Akhirnya setelah dicek ulang, ternyata memang benar ada kesalahan perhitungan. Memang nggak semua penumpang mengecek ulang hasil quick count harga makanan. Waktu yang hanya sekitar setengah jam untuk singgah di rumah makan terkadang membuat penumpang tak sempat lagi untuk memeriksa apakah harganya wajar atau terlalu mahal.